LuPpH so MucH

Religious Myspace Comments
                                                 My DaY

Tak Tik Tok

Glitter Graphics Myspace Comments

Lalalalalalalala

Lalalalalalalala
Adventure

Bismillahirrohmanirrohiim.....

Ingin ku raih ridho-Nya..

Apapun yang ku lakukan aku ingin selalu ada ridho_Nya..

Blog ini Hanya karena-Nya..

Dan semoga bermanfaat untuk makhluk ciptaan-Nya.Amiin!!


myspace icons

Jumat, 22 Januari 2010

MENTARBIYAH DENGAN KETELADANAN [1]

MENTARBIYAH DENGAN KETELADANAN [1]
Untuk anggota MASYARAKAT TARBIYAH
 
Oleh :Abu Rasyidah Judy Muhyiddin 18 Desember 2009 jam 17:19

Pernahkah Anda mengalami suatu saat ketika Anda membuka mushhaf dan Anda mulai membaca Al-Qur’an kemudian anak-anak Anda datang mendekati Anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan? Pernahkah Anda mendapatkan mutarabbi (objek dakwah/peserta didik/murid) Anda mengerjakan shaum (puasa) sunnah padahal Anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya? Hal tersebut dilakukan oleh mutarabbi Anda hanya karena ia mendapatkan Anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah Anda mengalami khadimat Anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga Anda, mulai terbiaasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah? Padahal isteri Anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-Nur maupun Al-Ahzab.

Itulah buah dari keteladanan. Keteladanan adalah cara berdakwah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini: “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.

Oleh karena itu, penting bagi para murabbi (dai/pendidik/guru/orang tua) untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan agar keteladanaannya memberi keberkahan bagi perkembangan dakwah dan peningkatan kualitas maupun kuantitas para mutarabbi yang mereka bina. Karena itu para murabbi pun perlu berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang tercatat sejarah sebagai murabbi teladan, setidaknya melalui suratun hayawiyyah (gambaran kehidupan mereka), khusunya dalam melakukan aktivitas pentarbiyahan (mendidik mutarabbi).

Perhatikanlah kehidupan Murabbi hadzihil ummah, Rasulullah saw. Telusuri keteladanan figur murabbi pada diri sahaabatnya, para tabi’in, dan ulama salaafussalih. Aina nahnu minhum? Kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka. Itulah satu perasaan yang akan terlintas di benak kita ketika mengetahui keteladaanaan mereka sebagai murabbi. Tetapi kita dinasihati oleh satu pepatah: tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun, teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani orang-orang mulia adalah satu keberuntungan.

Keteladanan Rasulullah saw.

Sebagai murabbi Rasulullah saw. selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28), qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan (An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).

Sebagai murabbi, Rasulullah saw. tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata, apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain. Diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi saw. telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Raasulullah saw. seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau berkhutbah seraya berkata, “Sesungguhnya aku megutus seseorang di antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini hadiah untukku. Jika orang itu benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim)

Rasulullah juga tidak pernah menjaga jarak dengan mutarabbinya. Sehingga tidak terjadi kesenjangan psikologis antara mutarabbi dengan murabbi. Hal ini dapat dilihat dari dialog lepas antara Jabir bin Abdillah dengan Rasulullah saw. “Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw. pada peperangan Dzatirriqa’. Aku mengendarai seekor onta yang lamban jalannya sehingga aku tertinggal jauh dari Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. menemuiku seraya berkata, “Kenapa engkau, hai Jabir? ” “Ontaku, ya Rasulallah, jalannya lamban sekali,” balasku. Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku sepotong kayu.” Aku berikan kepadanya dan beliau pun memukulkan kayu tersebut secara perlahan ke onta saya. Lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu. Demi Allah, tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat.

Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”

Keteladanaan Para Sahabat r.a.

Di antara para sahabat yang paling menonjol keteladanannya adalah Abu bakar As-Shiddiq r.a. Bukan hanya karena ia adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq dan juga bukan hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanaan hijrah ke Madinah. Tetapi lebih dari itu, karena Abu Bakar layak disebut sebagai murabbi hadzihil ummah sepeninggalnya Rasulullah saw. Beliaulah yang memandu akidah dan fikrah para sahabat yang lainnya ketika mereka masih belum legowo menerima berita wafatnya Rasulullah saw., bahkan termasuk Umar bin khattab r.a. Pada saat itulah Abu bakar memberikan taujih tarbawy dengan membacakan firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 144, seraya menambahkan penjalasan dengan kata-kata hikmahnya, “Man kaana ya’budu muhammadan fainna muhammad qod maata, wa man kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun laa yamuutu, barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah tiada; tetapi barangsiapa yang menyembah Allah swt., sesungguhnya Allah Hidup dan tidak akan mati.” Itulah keteladanan Abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya tarbiyah aqidiyah.

Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa gerakan pemurtadan (harakatul irtidad), dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat, lagi-lagi Abu bakar tampil sebagai pelopor. Dengan ketegasan sebagai murabbi, Abu Bakar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan memerangi mereka. Banyak para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, masih beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang kemurtadan. Abu Bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat khususnya Umar dengan kalimat, “Hatta anta, ya Umar, ajabbaarun fil jahiliyah hhawwarun fil Islam? Wallaahi, laa yanqushuddinu wa anaa hayyun, lau mana’uuni ‘uqqaalu ba’iirin yuadduunahi ila Rasuulillah lahaarabtuhu hatta tansalifa saalifaty, sampai engaku juga, Ya Umar. Apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa Islam? Demi Allah, tidak akan berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama aku masih hidup, walaupun mereka tidak memberikan hanya seutas tali onta yang harus diberikan kepada Rasulullah, maka tetap akan ku perangi mereka sampaai urat leherku terputus.”

Bahkan keteladan Abu Bakar sebagai murabbi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkret agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain. Misalnya pada saat sebagian besar para sahabat (kibaarus shahabah) keberataan dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando Rasulullah saw. sebelum wafatnya. Abu Bakar berazam untuk tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. seraya mengiringi pelepasan ekspedisi Usamah dengan menuntun kudanya sampai perbatasan. Sejak awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara ia berada di atas kudanya. Lalu Usamah menawarkaan agar ia turun, Abu Bakar saja yang naik kuda. Abu Bakar berkata, “Wallahi maa rakibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah, Demi Allah, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun. Biarkanlah kakiku bersimbah debu di jalan Allah.”

Sumber: alhikmah.ac.id dari dakwatuna.com
Judul asli "Keteladanan Murabbi" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar