LuPpH so MucH

Religious Myspace Comments
                                                 My DaY

Tak Tik Tok

Glitter Graphics Myspace Comments

Lalalalalalalala

Lalalalalalalala
Adventure

Bismillahirrohmanirrohiim.....

Ingin ku raih ridho-Nya..

Apapun yang ku lakukan aku ingin selalu ada ridho_Nya..

Blog ini Hanya karena-Nya..

Dan semoga bermanfaat untuk makhluk ciptaan-Nya.Amiin!!


myspace icons

Jumat, 22 Januari 2010

MENTARBIYAH DENGAN KETELADANAN [2]

MENTARBIYAH DENGAN KETELADANAN [2]

Untuk anggota MASYARAKAT TARBIYAH
 
Oleh :Abu Rasyidah Judy Muhyiddin 18 Desember 2009 jam 17:22  
Keteladanan Ulama Salafusshalih

Salah satu di antara mereka adalah Atho bin Abi Rabaah rahimahullah. Beliau memimpin halaaqah (kelompok pengajian) besar di Masjidil Haram semasa Sulaiman bin Abdil Malik menjadi Khalifah. Khalifah sering menghadiri halaqah Atho bin Abi Rabah. Padahal Atho adalah seorang habsyi (negro asal Ethiopia) yang pernah menjadi budak seorang wanita penduduk Kota Mekkah. Atho dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami ajaran Islam.

Keteladanan Atho bin Abi Rabaah sebagai murabbi adalah kelembutannya dan ketajaaman nasihatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih sayang. Itu seperti yang dikisahkan Muhammad bin Suqah, salah seorang ulama Kufah, bahwa suatu ketika Atho bin Abi Rabaah menasihatinya, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan.” “Lalu apa batasannnya pembicaran yang berlebihan?” tanyaku. Beliau melanjutkan nasihatnya, “Mereka mengkategorikan pembicaraan berlebih bila dilakukan selain dari Al-Qur’an yang dibaca dan difahami; atau hadits Rasulullah yang diriwayatkan; atau berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar; atau pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan persoalan maisyah.” Kemudian beliau mengarahkan pandangannya kepadaku seraya berkata, “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kiraaman kaatibiin) (Al-infithar: 10-11), wa anna ma’a kullin (‘minkum malakaini Anil yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi raqiibun ‘atiid) (Qaf: 17-18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu.”

Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.

Ketika aku dicukur, ia melihatku diam saja. Lalu ia menegurku, “Kenapa koq diam saja? Ayo perbanyaklah takbir.” Maka aku pun bertakbir. Setelah selesai, aku hendak langsung pergi. Lalu ia berkata, “Mau kemana kamu?” “Aku mau ke kendaraanku,” jawabku. Tukang cukur itu mencegahku seraya berkata, “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana kau suka.” Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini kalau bukan dia orang alim. Lalu aku berkata kepadanya, “Dari mana engkau dapati mengenai beberapa manasik yang kau perintahkan kepadaku?” “Demi Allah, aku melihat Atho bin Abi Rabaah mempratekkan hal itu, lalu aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya,” jawab tukang cukur alim tersebut.

Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”

Adalah Said Ibnul Musayyib rahimahullah (juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh para murabbi). Ia memimpin halaqah yang cukup besar di Masjid Nabawi. Si samping beliau, juga terdapat halaqah ‘Urwah bin Zubair dan Abdullah bin ‘Utbah rahimahumallah. Said Ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu Wada’ah. Suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak hadir. Tentu saja Said bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya itu. Beliau khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau bertanya kepada murid-muridnya yang lainnya. Namun tidak ada yang tahu. Beberapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah datang kembali sebagaimana biasa. Maka sang murabbi teladan Said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian. “Kemana saja engkau, ya Aba Wada’ah?” “Isteriku meninggal dunia sehi
ngga aku sibuk mengurusinya,” jawab Abu wada’ah. “Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah isterimu serta membantu segala keperluanmu?” tanya Said kembali. “Jazaakallahu khairan,” jawab Abu Wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbinya.

Tidak lama kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya, “Apakah engkau belum terpikir untuk mencari isteri yang baru, ya Aba Wada’ah?” “Yarhamukallah, siapa orangnya yang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim, fakir, dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya. “Aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku,” tegas Said. Dengan terbata-bata Abu Wada’ah berucap, ” Eng… engkau akan mengawiniku dengan anak perempuanmu padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku.” “Ya, kenapa tidak? Karena kami jika sudah kedataangan seseorang yang kami ridha terhadap agamanya dan akhlaknya, maka kami kawinkan orang itu. Dan engkau termasuk orang yang kami ridhai,” jawab Said meyakinkan mutarabbinya.

Lalu dipanggillah orang-orang yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikah dengan mahar sebanyak dua dirham. Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu harus berkata apa. Antara kaget daan girang ia pulang menuju rumahnya. Sampai-sampai ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum karena di tengah perjalanan ia terus berpikir dari mana ia akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa? Tak terasa ia sudah sampai di rumah dan adzan maghrib pun tiba. Lalu ia berbuka dengan sepotong roti. Baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu. “Siapa yang mengetuk pintu,” tanyanya dari dalam rumah. “Said,” jawab suara di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya.

Setelah dibukanya tiba-tiba sang murabbi sudah ada di hadapannya. Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu” dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang murabbi seraya berkata, “Ya Aba Muhammad, mengapa tidak engkau utus seseorang memanggilku sehingga aku yang datang menemuimu.” “Tidak. Engkau lebih berhak aku datangi hari ini.” Setelah dipersilakan masuk, Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya. “Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan syari’at Allah swt. sejak tadi pagi. Dan aku tahu tidak ada seorang pun yang menemanimu, menghiburmu, dan melipur kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku bermalam pada hari ini di suatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat lain. Sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu.”

Lalu Said menoleh ke arah puterinya seraya berkata, “Masuklah engkau ke rumah suamimu, wahai Puteriku, dengan menyebut asma Allah dan memohon barakah-Nya.” Masuklah anak perempuan Said dan ketika melangkahkan kakinya nyaris keserimpet (terinjak gaunnya) hingga hampir jatuh karena saking malunya. “Sedang aku juga cuma berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa,” kata Abu Wada’ah mengenang kejadian itu. Tapi kemudian ia cepat-cepat mendahului isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti yang memang tinggal segitu-gitunya supaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru setelah itu ia keluar rumah memanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.

Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.

Lain lagi dengan kisah Imam Abu Hanifah. Ia dikenal dengan nama Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang. Wajahnya berseri-seri. Pengtahuannya dalam. Manis tutur katanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian. Jika beliau datang ke majelis taklimnya, semua orang yang ada di situ sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang dipakainya.

Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai murabbi yang dermawan. Maklum, beliau seorang saudagar pakaian, kain, dan sutera. Beliau berdagang berkeliling dari kota satu ke kota lain di wilayah Irak.

Suatu ketika salah seorang muridnya datang ke tempat jualannya. Ia minta dicarikan baju, lalu beliau mencarinya sesuai dengan warna yang dimintanya. “Berapa harganya?” tanya sang murid. “Sedirham,” jawab Imam. “Satu dirham?” tanya sang murid heran. Itu sangat murah. “Ya, segitu.” “Yang benar nih….” kata muridnya lagi. “Aku tidak main-main. Aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh dinar emas dan satu dirham perak. Yang satu aku sudah aku jual, sedang yang sisanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham. Aku memang tidak mau mengambil untung terhadap murid-muridku.”

Sumber: alhikmah.ac.id dari dakwatuna.com
Judul asli: "Keteladanan Murabbi"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar